Hukum Waris Islam

Diposting oleh Hamdani Elbantani | 17.19

HUKUM WARIS ISLAM SERTA PERDATA BARAT MENGENAI PEMBAGIAN HUTANG
BAB I
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG MASALAH
Hukum kewarisan adalah himpunan aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan. Pada prinsipnya kewarisan terjadi didahului dengan adanya kematian, lalu orang yang meninggal tersebut meninggalkan harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. Mengenai kaedah positif yang mengatur perihal kewarisan, negara Indonesia belum mempunyai hukum waris nasional. Tetapi setidaknya terdapat tiga kaedah hukum positif di Indonesia yang mengatur perihal kewarisan, yakni hukum adat, hukum perdata barat dan hukum Islam. Tentunya terdapat beberapa persamaan dan perbedaan di antara ketiga kaedah hukum yang mengatur perihal kewarisan tersebut.
Hukum Islam sendiri mengatur beberapa bidang hukum. Posisi hukum kewarisan dalam hukum Islam termasuk dalam lingkupan bidang hukum kekeluargaan. Pada umumnya perihal mengenai hukum kekeluargaan yang di dalamnya terdapat ketentuan mengenai kewarisan tersebut diatur dalam Al-Qur’an surat An-Nissa (Q.S.IV).
Harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris tidak serta merta berarti seluruhnya merupakan harta kekayaan yang nantinya akan dibagi kepada segenap ahli waris. Ada suatu saat dimana pewaris meninggalkan harta peninggalan berupa hutang. Perihal mengenai mewaris hutang ini sangat penting untuk diperhatikan mengingat bahwa di dalam setiap ketentuan positif yang mengatur perihal kewarisan dalam Al-Qur’an maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) selalu disebutkan bahwa bagian harta warisan akan siap untuk dibagi kepada segenap ahli waris jika telah dikurangi dengan hutang-hutang dan wasiat.
Dalam mewaris hutang-hutang, hukum kewarisan Islam mempunyai ketentuan tersendiri yang mengatur hal tersebut. Di lain sisi, kewarisan perdata barat dalam (KUHPerdata) pun juga mengatur hal yang sama pula. Oleh karena itu melalui makalah ini penulis akan membahas mengenai “Perbandingan ketentuan mengenai mewaris hutang menurut hukum kewarisan Islam dan menurut hukum kewarisan perdata barat.

B.RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah dijabarkan di atas, maka dapat ditarik beberapa pokok masalah yang akan dikaji dalam makalah ini, yakni:
1.Bagaimana hukum Islam dan hukum perdata barat mengatur perihal kewarisan pada umumnya?
2.Bagaimanakah perbandingan ketentuan mengenai pewaris hutang menurut hukum kewarisan Islam dan hukum perdata barat?
3.Apakah sama pembagian waris menurut hukum perdata barat dengan hukum islam?
4.Hukum apa sajakah yang mengatur tentang ketentuan positif yang mengatur tentang kewarisan?

C.TUJUAN PENELITIAN
Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana hukum perdata barat mengatur tentang pembagian waris dan juga untuk mengetahui sejauh mana pembagian waris menurut hukum itu sendiri. Namun secara spesifik tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1.Hukum Islam dan hukum perdata barat yang mengatur perihal tentang kewarisan tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan.
2.Perbandingan ketentuan mengenai pewaris hutang menurut hukum kewarisan Islam dan hukum perdata barat tentang harta peninggalan.
3.Pembagian waris menurut hukum perdata barat dengan hukum islam tentang harta peninggalan.
4.Hukum yang mengatur tentang ketentuan positif kewarisan tentang harta peninggalan.


D.KEGUNAAN PENELITIAN
1.Kepentingan Ilmiah
Di harapkan dari penelitian atau studi ini dapat memperkaya kajian tentang ilmu waris menurut hukum Islam pada khususnya dan kajian ilmu waris menurut hukum perdata barat pada umumnya.
2.Kepentingan terapan
Di harapkan dapat dijadikan sebagai metode atau cara atau bahan rujukan oleh para ahli waris dalam masalah pembagian harta warisan yang di tinggalkan oleh si mayit dan juga semoga bisa dijadikan sebagai bahan rujukan oleh para ulama yang mengatur tentang pembagian harta warisan dan juga semoga lebih dikembangkan lagi tentang ilmu kewarisan agar tidak ada konflik setelah di tinggalkan oleh si mayit di keluarga yang ditinggalkan.

E.METODE PENELITIAN
Dengan unsur-unsur pokok yang harus ditemukan sesuai dengan butir-butir rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, maka digunakan metode penelitian kualitatif. Dalam metode penelitian kualitatif ini, maka data yang didapat lebih lengkap, lebih mendalam, kredibel, dan bermakna sehingga tujuan penelitian dapat dicapai. Penggunaan metode kualitatif ini, bukan karena metode ini baru, dan lebih “trendy”, tetapi memang permasalahan lebih tepat dicarikan jawabannya dengan metode kualitatif. Dengan metode kualitatif, maka akan dapat diperoleh data yang lebih tuntas, pasti, sehingga memiliki kredibilitas yang tinggi.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.LANDASAN TEORI
Pada landasan teori berikut ini dikemukakan teori tentang hukum kewarisan di Indonesia yang mengatur perihal kewarisan menurut hukum Islam dan hukum perdata barat.
A.Dalam Hukum Islam
Bilamana orang membicarakan masalah warisan, maka orang akan sampai kepada dua masalah pokok, yakni adanya seorang yang meninggal dunia yang meninggalkan harta kekayaannya sebagai warisan dan meninggalkan orang-orang yang berhak untuk menerima harta peninggalan tersebut. Dalam buku II, bab I, pasal 171 butir a Kompilasi Hukum Islam disebutkan pengertian hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Hukum kewarisan Islam disebut juga hukum fara’id, jamak dari kata farida, erat sekali hubungannya dengan kata fard yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan.
B. Dalam Hukum Perdata Barat
Pengertian Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan lain perkataan, mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibat-akibatnya bagi ahli waris. Dasar Hukum menurut Perdata barat tertuang dalam Buku II KUHPerdata Pasal 830-1130 jo. Pasal 528 dan 584 KUHPerdata.
B.Penelitian sebelumnya
Apabila seseorang mati meninggalkan hutang maka wajib untuk pewaris, calon waris, apalah istilahnya bisa istri atau anaknya, untuk menggantikan hutang tersebut. Tetapi kalau dia tidak bisa membayar penuh sesuai surat perjanjian maka dapatlah dibuat surat perjanjian baru yang isinya disetujui kedua belah pihak.
Saya asumsikan yang meninggal beragama Islam yang tunduk terhadap hukum Islam. Dalam konsep kewarisan Islam, pelunasan utang dari orang yang meninggal (pewaris) merupakan hal paling pertama dan utama yang harus diselesaikan oleh ahli waris. Pelunasan utang tersebut dilakukan menggunakan harta (harta dalam hal ini merupakan aktiva) dari pewaris. Apabila harta pewaris mencukupi untuk pelunasan utang tersebut dan masih terdapat sisa harta, maka harta tersebut yang akan dibagikan sebagai warisan. Apabila harta pewaris tidak mencukupi pelunasan utang tersebut dan pewaris memiliki dua atau lebih kreditor, maka pelunasan utang akan dilakukan secara proporsional pada tiap-tiap kreditor. Dalam hal ini, ahli waris tidak memiliki kewajiban secara hukum untuk melunasi utang dari pewaris apabila harta warisan lebih kecil dari pasiva (utang). Akan tetapi, secara moral dan kepatutan, sudah seharusnya si ahli waris melunasi utang-utang pewaris apalagi kalau ternyata pewaris adalah orang tua dari para ahli waris.
Asumsi yang kedua, di pewaris bukan beragama Islam, maka akan digunakan hukum perdata barat. Dalam konsep hukum perdata barat, yang termasuk harta pewaris adalah segala aktiva dan pasiva, artinya harta tidak hanya berupa kekayaan seperti rumah, mobil, tabungan dan lainnya, tetapi juga termasuk utang. Berdasarkan konsep waris perdata barat terhadap harta warisan, ahli waris memiliki tiga sikap. Pertama, ia menerima harta warisan tersebut yang berarti dia menerima segala aktiva dan pasiva dari si pewaris. Dalam kasus di atas si ahli waris diwajibkan untuk menanggung utang pewaris. Kedua, ahli waris dapat menerima harta tersebut sebagian. Sebagian disini tidak berarti ia bisa memilih harta yang diterima, tetapi sebagian disini berarti ia bertindak menerima harta tersebut untuk menjadi kurator dari harta tersebut. Ketiga, ahli waris menolak harta warisan, yang berarti si ahli waris menolak seluruh aktiva maupun pasiva. Kalau dihubungakan dengan kasus, berarti si ahli waris tidak diwajibkan secara hukum untuk membayar utang ahli waris.
Asumsi yang ketiga, ketentuan hukum waris menggunakan hukum adat. Penyelesaian yang ketiga ini cukup rumit. Kita harus tahu terlebih dahulu asal dari si pewaris untuk mengetahui sistem kekerabatannya, apakah patrilineal ataukah matrilineal atau malah bilateral.


BAB III
PAPARAN DATA
A.HASIL PENELITIAN
1.Ditinjau Dari Hukum Kewarisan Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam buku II, bab I tentang ketentuan umum, dapat disimpulkan bahwa hukum kewarisan Islam memisahkan konsep antara harta peninggalan dan harta warisan. Yang dimaksud harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan yang dimaksud mengenai harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Dalam setiap ketentuan positif dalam hukum kewarisan Islam selalu diberi penjelasan bahwa ahli waris baru dapat menerima harta warisan setelah dikurang dengan pembayaran hutang dan wasiat. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa hukum kewarisan Islam menuntut adanya pelunasan segala hutang dan wasiat si pewaris sebelum harta warisan dibagikan. Para ahli waris tidak diwajibkan untuk menutupi kekurangan yang timbul karena tidak mencukupi harta peninggalan bagi pelunasan hutang pewaris dengan kekayaan sejumlah harta peninggalan.

2.Ditinjau Dari Hukum Kewarisan Perdata Barat
Menurut hukum kewarisan Islam dan hukum waris adat, apa yang pada hakekatnya beralih dari tangan yang wafat kepada para ahli waris ialah barang-barang tinggalan dalam keadaan bersih, artinya setelah dikurangi dengan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si pewaris.
Mr.Ter Haar mengatakan bahwa hanya harta peninggalan yang tinggal tak terbagi-bagilah yang harus dipergunakan untuk membayar hutang-hutang si pewaris. Titik pangkal ini mengakibatkan perumusan kaedah hukum adat yakni hanya sisa harta peninggalan dapat diwaris. Sebaliknya KUHPerdata memandang selaku hakekat, bahwa yang diwarisi oleh ahli waris itu tidaklah hanya hal-hal yang bermanfaat saja bagi mereka, melainkan juga hutang dari si pewaris.
Hakekat dalam KUHPerdata bahwa hutang-hutang si pewaris beralih pula kepada ahli waris juga menentukan bahwa para ahli waris dapat menghindarkan peralihan itu dengan jalan menerima atau menolak warisan atau menerima dengan syarat, yaitu menerima tetapi dengan ketentuan ia tidak akan diwajibkan membayar hutang si pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu.


BAB IV
ANALISA DATA

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, mayoritas orang yang membicarakan masalah harta warisan, maka orang akan sampai kepada dua masalah pokok, yakni adanya seorang yang meninggal dunia yang meninggalkan harta kekayaannya sebagai warisan dan meninggalkan orang-orang yang berhak untuk menerima harta peninggalan tersebut. Dalam buku II, bab I, pasal 171 butir a Kompilasi Hukum Islam disebutkan pengertian hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Hukum kewarisan Islam disebut juga hukum fara’id, jamak dari kata farida, erat sekali hubungannya dengan kata fard yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan.
1. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam Menurut Prof.Dr.Amir Syarifudin, ada lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas-asas tersebut adalah :
a) Asas Ijbari (memaksa=compulsory) Peralihan harta peninggalan berlaku dengan sendirinya tanpa digantungkan pada kehendak masing-masing pihak.
b) Asas Bilateral Bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu pihak garis keturunan laki-laki dan pihak garis keturunan perempuan. c) Asas Individual Pemilikan harta peninggalan yang diberikan dapat dimiliki secara individu.
d) Asas Keadilan Berimbang Harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dengan keajiban yang harus ditunaikannya.
e) Asas Kematian Peralihan harta seorang kepada orang lain hanya berlaku setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia.
2. Faktor-Faktor Lahirnya Hukum Kewarisan Islam Menurut Prof.Dr.Tahir Azhari, SH, faktor-faktor yang melahirkan hak kewarisan Islam adalah sebagai berikut :
a) Faktor seiman
b) Adanya hubungan darah antara pewaris dan ahli waris
c) Adanya hubungan semenda / perkawinan
3. Dasar Hukum Kewarisan Islam
a) Al-Qur’an Beberapa ayat AL-Qur’an yang langsung mengatur pembagian harta warisan adalah sebagai berikut :
- O.S.IV:7. Mengatur penegasan bahwa laki-laki dan perempuan dapat mewaris.
- Q.S.IV:11. Mengatur perolehan anak, ibu dan bapak.
- Q.S.IV:12. Mengatur perolehan duda, janda, saudara-saudara dalam hal kalaalah.
- Q.S.IV:33. Mengatur mengenai mawali seorang yang dapat harta peninggalan dari ibu-bapaknya, aqrabunnya dan tolam seperjanjiannya.
- Q.S.IV:176. Menerangkan arti kalaalah.
b) Sunnah Rasul, yakni hadits Jaabir bin Abdullah, Zaid bin Tsabit, Abu Bakar, Ali bin Thalib, Saad bin Abi Waqqas, Ibnu Abbas, dan lain-lain.
c) Ijtihad, misalnya mengenai bagian ibu apabila hanya mewaris dengan bapak dan suami atau isteri.
Menurut hasil penelitian bahwa Pengertian Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan perkataan lain yaitu mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia serta akibat-akibatnya bagi ahli waris. Dasar Hukum Buku II KUHPerdata Pasal 830-1130 jo. Pasal 528 dan 584 KUHPerdata.
Menurut hasil penelitian bahwa, Prinsip Umum dalam Kewarisan adalah :
a. Pewarisan terjadi karena meninggalnya pewaris dengan sejumlah harta tertentu.
b.Hak-hak dan kewajiban dibidang harta kekayaan beralih demi hukum. Pasal 833 KUHPerdata, menimbulkan hak menuntut.
c.Yang berhak mewaris menurut UU mereka yang mempunyai hubungan darah (Pasal 832 KUHPerdata).
d.Harta tidak boleh dibiarkan tidak terbagi begitu saja.
e.Setiap orang cakap mewaris kecuali pasal 838 KUHPerdata (onwaardig).
Menurut hasil penelitian yang di tinjau dari hukum kewarisan Islam bahwa, dalam Kompilasi Hukum Islam buku II, bab I tentang ketentuan umum, dapat disimpulkan bahwa hukum kewarisan Islam memisahkan konsep antara harta peninggalan dan harta warisan. Yang dimaksud harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan yang dimaksud mengenai harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Begitu pula seperti yang telah dijelaskan pada uraian-uraian sebelumnya yakni bahwa dalam setiap ketentuan positif dalam hukum kewarisan Islam selalu diberi penjelasan bahwa ahli waris baru dapat menerima harta warisan setelah dikurang dengan pembayaran hutang dan wasiat. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa hukum kewarisan Islam menuntut adanya pelunasan segala hutang dan wasiat si pewaris sebelum harta warisan dibagikan. Para ahli waris tidak diwajibkan untuk menutupi kekurangan yang timbul karena tidak mencukupi harta peninggalan bagi pelunasan hutang pewaris dengan kekayaan sejumlah harta peninggalan. Dikuatkan pula oleh QS.II:233, bahwa tidak berarti ibu atau ayah karena anaknya, demikian pula ahli waris karena pewarisannya. Dengan demikian maka prosedur pembayaran hutang pewaris yang melampaui jumlah harta peninggalan ialah menurut pengurangan yang seimbang.
Contoh kasus:
Pewaris X mempunyai hutang kepada A sebesar Rp.50.000,- ; kepada B sebesar .30.000,- dan C sebesar Rp.20.000,-. Jumlah harta peningalan pewaris sebesar 200.000. Ongkos-ongkos selama sakit dan ongkos kematian sebesar Rp. 160.000,-. Berdasar rumus di atas maka penyelesaian hutang-hutang tersebut diatur sebagai berikut:
A = 50.000 / 100.000 x (200.000-160.000) = Rp. 20.000,-
B = 30.000 / 100.000 x (200.000-160.000) = Rp. 12.000,-
C = 20.000 / 100.000 x (200.000-160.000) = Rp. 8.000,-
Menurut hasil penelitian yang ditinjau dari hukum kewarisan Islam dan hukum waris adat bahwa, pada hakekatnya beralih dari tangan yang wafat kepada para ahli waris ialah barang-barang tinggalan dalam keadaan bersih, artinya setelah dikurangi dengan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si pewaris. Mr.Ter Haar mengatakan bahwa hanya harta peninggalan yang tinggal tak terbagi-bagilah yang harus dipergunakan untuk membayar hutang-hutang si pewaris. Titik pangkal ini mengakibatkan perumusan kaedah hukum adat yakni hanya sisa harta peninggalan dapat diwarisi. Sebaliknya KUHPerdata memandang selaku hakekat, bahwa yang diwarisi oleh ahli waris itu tidaklah hanya hal-hal yang bermanfaat saja bagi mereka, melainkan juga hutang dari si pewaris.
Hakekat dalam KUHPerdata bahwa hutang-hutang si pewaris beralih pula kepada ahli waris juga menentukan bahwa para ahli waris dapat menghindarkan peralihan itu dengan jalan menerima atau menolak warisan atau menerima dengan syarat, yaitu menerima tetapi dengan ketentuan ia tidak akan diwajibkan membayar hutang si pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu.
Berdasasrkan KUHPerdata mengenal 3 macam sikap dari ahli waris terhadap harta warisan, yakni:
1. Ia dapat menerima harta warisan seluruhnya menurut hakekat tersebut dari KUHPerdata, termasuk seluruh hutang si pewaris.
2. Ia dapat menolak harta warisan dengan akibat bahwa ia sama sekali tidak tahu menahu tentang pengurusan harta warisan itu.
3. Ia dapat menerima harta warisan dengan syarat bahwa harus diperinci barang-barangnya dengan pengertian bahwa hutang-hutang hanya dapat ditagih sekedar harta warisan mencukupi untuk itu.
Oleh karena pemilihan satu dari tiga sikap tersebut di atas dapat berpengaruh besar terhadap ahli waris, maka oleh KUHPerdata kepada mereka secara tegas diberi kesempatan untuk berpikir dahulu sebelum memilih salah satu sikap itu. Hak-hak berpikir ini diatur dalam pasal 1023 sampai pasal 1029 KUHPerdata. Akibat dari penerimaan warisan secara penuh atau tanpa syarat (point 1) adalah bahwa harta warisan dan harta kekayaan pribadi dari ahli waris dicampur menjadi satu, berari bahwa semua hutang-hutang pewaris diambil alih oleh ahli waris, dan ia tidak dapat menolak warisan itu .


BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Dalam hukum Islam, kewarisan merupakan suatu kewajiban yang tidak digantungkan pada kehendak masing-masing pihak. Sedangkan dalam hukum perdata barat, jika terbuka suatu warisan, ahli waris dapat memilih apakah ia akan menerima atau menolak warisan itu, atau menerima dengan ketentuan ia tidak akan diwajibkan membayar hutang-hutang si pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu.
2. Dalam hukum Islam yang diwariskan kepada ahli waris itu adalah barang-barang peninggalan si pewaris dalam keadaan bersih, jadi setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang si pewaris. Seperti apa yang telah diuraikan bahwa pembayaan hutang itu tidak boleh mendatangkan kesempitan pada ahli waris tersebut, dengan demikian tanggung jawab para ahli waris menurut hukum Islam adalah terbatas sebanyak harta peninggalan yang ia dapatkan. Sedangkan dalam KUHPerdata tanggung jawab para ahli waris tersebut, apakah ia menerima atau menolak warisan itu.
3. Dalam hukum kewarisan Islam para ahli waris tidak diwajibkan untuk menutupi kekurangan – kekurangan yang timbul karena harta peninggalan tidak cukup untuk menutupi hutang si pewaris. Sedangkan menurut KUHPerdata harta kekayaan pribadi dapat dipakai untuk mencukupi pelunasan hutang - hutang si pewaris bila ia menerima warisan itu secara penuh atau tanpa syarat.

B. Saran
Menggantungkan kehendak untuk pewaris seperti yang dianut oleh sistem kewarisan perdata barat dirasakan tidak sesuai dengan prinsip kekeluargaan yang ada karena terdapat kemungkinan bahwa ahli waris menolak warisan. Hal ini memungkinkan terjadinya penyalahgunaan seperti halnya yang terjadi pada kasus Soeharto dimana salah satu ahli warisnya yakni Hutomo Mandala Putra menolak menjadi ahli waris. Dari kasus tersebut banyak pihak yang memperkirakan bahwa itu merupakan trik Hutomo Mandala Putra untuk mengindari penyelidikan hukum atas harta yang bersangkutan terkait kasus korupsi yang melilitnya. Maka diperlukan hukum kewarisan nasional yang didalamnya tersirat kaedah hukum kewarisan Islam yang mengatur bahwa ahli waris wajib mewaris termasuk mewaris hutang pewaris tetapi terbatas atas harta warisan yang diperoleh ahli waris tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

-Soelistijono SH. CN, Yati dan Neng Djubaedah SH. MH. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
-Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara, 1981.
-Ali, Mohammad Daud, H. Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
-Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2003.
-Zushaniaty I, Mei, “kedudukan wasiat dan hutang si mati ditinjau dari sudut hukum kewarisan islam dan kitab undang-undang hukum perdata.” Skripsi Sarjana Universitas Inonesia, Jakarta, 1986.
-Disusun oleh Tim Redaksi Fokusmedia. Peraturan Perundang-Undangan: Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam.. Cet.II. Bandung: Fokusmedia, 2007.
-R.Subekti dan R.Tjitro sudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Cet.VIII. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.”

0 komentar