Hukum dan metodologi penelitian

Diposting oleh Hamdani Elbantani | 19.04

HUKUM DAN METODE PENELITIANNYA

A. Pendahuluan
Sejarah Hukum adalah bidang studi tentang bagaimana hukum berkembang dan apa yang menyebabkan perubahannya. Sejarah hukum erat terkait dengan perkembangan peradaban dan ditempatkan dalam konteks yang lebih luas dari sejarah sosial. Di antara sejumlah ahli hukum dan pakar sejarah tentang proses hukum, sejarah hukum dipandang sebagai catatan mengenai evolusi hukum dan penjelasan teknis tentang bagaimana hukum-hukum ini berkembang dengan pandangan tentang pemahaman yang lebih baik mengenai asal-usul dari berbagai konsep hukum. Sebagian orang menganggapnya sebagai bagian dari sejarah intelektual. Para sejarawan abad ke-20 telah memandang sejarah hukum dalam cara yang lebih kontekstual, lebih sejalan dengan pemikiran para sejarawan sosial. Mereka meninjau lembaga-lembaga hukum sebagai sistem aturan, pelaku dan lambang yang kompleks, dan melihat unsur-unsur ini berinteraksi dengan masyarakat untuk mengubah, mengadaptasi, menolak atau memperkenalkan aspek-aspek tertentu dari masyarakat sipil. Para sejarawan hukum seperti itu cenderung menganalisis sejarah kasus dari parameter penelitian ilmu sosial, dengan menggunakan metode-metode statistik, menganalisis perbedaan kelas antara pihak-pihak yang mengadukan kasusnya, mereka yang mengajukan permohonan, dan para pelaku lainnya dalam berbagai proses hukum. Dengan menganalisis hasil-hasil kasus, biaya transaksi, jumlah kasus-kasus yang diselesaikan, mereka telah memulai analisis terhadap lembaga-lembaga hukum, praktik-praktik, prosedur dan amaran-amarannya yang memberikan kita gambaran yang lebih kompleks tentang hukum dan masyarakat dari pada yang dapat dicapai oleh studi tentang yurisprudensi, hukum dan aturan sipil.

B. Pembahasan
Materi mata kuliah ini memuat tiga hal pokok, yaitu landasan epistimologi ilmu hukum, metodologi ilmu hukum, dan perasionalisasi penelitian hukum.
Pada bagian pertama dijelaskan mengenai ciri keilmuan ilmu hukum dengan ilmu-ilmu sosial dan kealaman dan landasan epistimologi ilmu hukum dengan memfokuskan pada perkembangan teori dan ilmu hukum yang berbasis pada sistem hukum kontinental. Selanjutnya dibahas tentang metodologi penelitian ilmu hukum dengan materi pokok hubungan antara konsep hukum dengan metode kajiannya, metode kuantitatif dan kualitatif dalam penelitian hukum, penelitian hukum doktrinal dan penelitian non-doktrinal serta menguraikan mengapa munculnya perbedaan penggunaan pendekatan dan metode penelitian dalam ilmu hukum dilihat dari sudut filsafat ilmu dan sejarah perkembangan ilmu (teori) hukum. Pada bagian lain diuraikan tentang siklus penelitian hukum. Bagian ketiga memuat tentang strategi dalam mendesain suatu penelitian hukum secara umum dan mendesain penelitian hukum khusus yang mengambil objek kajian pada peraturan perundang-undangan, konstitusi, dokumen hukum, sistem hukum, perbandingan hukum, studi hukum adat, studi hukum dan masyarakat serta studi tentang efektivitas hukum. Pada bagian akhir dibahas secara khusus tentang problem-problem dalam penelitian hukum melalui pendekatan praktik .

C. Definisi Hukum
Hukum adalah seperangkat kaidah atau aturan yang tersusun dalam satu sistem, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakatnya, yang bersumber baik dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain, yang diakui berlakunya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta benar-benar diberlakukan oleh warga masyarakat tersebut (sebagai satu keseluruhan) dalam kehidupannya, dan jika kaidah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal .

D. Definisi Metode Penelitian Hukum
Penelitian adalah merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten.
Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem; sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.
Penelitian Hukum adalah suatu penelitian yang mempunyai obyek hukum, baik hukum sebagai suatu ilmu atau aturan-aturan yang sifatnya dogmatis maupun hukum yang berkaitan dengan perilaku dan kehidupan masyarakat.
Penelitian Hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan (Soerjono Soekanto, 1981).
Metode Penelitian Hukum adalah cara untuk mencari jawaban yang benar mengenai sesuatu problem tentang hukum. Maka konsep atau pengertian tentang “apa yang diartikan dengan hukum” di sini akan amat menentukan metode pencaharian yang selayaknya dipakai. Tak pelak, jenis metode yang akan dipakai dalam penelitian hukum akan sangat bergantung pada apa konsep yang tengah dikukuhi tentang hukum (Soetandyo Wignjosoebroto, 1992) . Inti dari pada metodologi dalam setiap penelitian hukum adalah menguraikan tentang tata cara bagaimana suatu penelitian hukum itu harus dilaksanakan. Sebagai uraian tentang tata cara (teknik) penelitian yang harus dilakukan, maka Metodologi Penelitian Hukum pada pokoknya mencakup uraian mengenai :

1. Metode yang akan dipergunakan
Yakni metode pendekatan apa yang sekiranya akan diterapkan dalam penelitian yang harus dilakukan. Apakah memakai metode pendekatan yang bersifat normatif atau mempergunakan metode empiris.

2. Tipe penelitian yang dilakukan
Maksudnya, tipe penelitian apa yang patut diterapkan, apakah memakai tipe eksploratif, deskriptif, eksplanatoris atau memakai tipe-tipe penelitian yang lain.

3. Metode populasi dan sampling
Penentuan secara tepat untuk populasi dan sampling dalam suatu penelitian hukum adalah penting, karena :
1. Untuk menentukan apakah penelitian yang dilakukan itu terhadap semua populasi atau hanya sampelnya saja.
2. Dengan penentuan populasi dan sampel yang tepat akan didapat nilai validitas data yang tinggi. Kalau yang diteliti sampelnya saja, maka haruslah disebutkan metode sampling yang dipergunakan.
E. Jenis – Jenis atau Macam – Macam Penelitian Hukum
Dalam dunia penelitian, termasuk penelitian hukum dikenal berbagai jenis/macam dan tipe penelitian. Pembedaan jenis ini didasarkan dari sudut mana kita memandang atau meninjaunya. Penentuan jenis/macam penelitian dipandang penting karena ada kaitan erat antara jenis penelitian itu dengan sistematika dan metode serta analisis data yang harus dilakukan untuk setiap penelitian.
Secara khusus menurut jenis, sifat dan tujuannya suatu penelitian hukum yang oleh Soerjono Soekanto dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris.

1. Penelitian Hukum Normatif
Nama lain dari penelitian hukum normatif ini adalah penelitian hukum doktriner, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.Sedang disebut sebagai penelitian perpustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Dimana dalam penelitian pada umumnya untuk menentukan jenis dari suatu penelitian itu dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data primer (atau dasar), sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.

Di dalam penelitian hukum, Data Sekunder mencakup (Soerjono Soekanto, 1982:52) :

 Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari: (a) Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945; (b) Peraturan Dasar: mencakup diantaranya Batang Tubuh UUD 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c) Peraturan perundang-undangan; (d) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat; (e) Yurisprudensi; (f) Traktat; (g) Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku.

 Bahan hukum sekunder
Yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan UU, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya.

 Bahan Hukum Tersier
Yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya.
Jadi penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.



Pelaksanaan penelitian hukum normatif secara garis besar akan ditujukan pada :
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum
Seperti misalnya penelitian terhadap hukum positif yang tertulis atau penelitian terhadap kaidah-kaidah hukum yang hidup di dalam masyarakat.

b. Penelitian terhadap sistematika hukum
Penelitian ini dapat dilakukan pada perundang-undangan tertentu ataupun hukum tercatat. Tujuan pokoknya adalah untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokok/dasar dalam hukum, yakni masyarakat hukum, subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan obyek hukum. Penelitian ini sangat penting oleh karena masing-masing pengertian pokok/dasar mempunyai arti tertentu dalam kehidupan hukum.

c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum
Dalam penelitian terhadap taraf sinkronisasi baik vertikal maupun horizontal, maka yang diteliti adalah sampai sejauh manakah hukum positif tertulis yang ada serasi. Hal ini dapat ditinjau secara vertikal, yakni apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan, apabila dilihat dari sudut hirarki perundang-undangan tersebut. Sedang apabila dilakukan penelitian taraf sinkronisasi secara horisontal, maka yang ditinjau adalah perundang-undangan yang sederajat yang mengatur bidang yang sama.

d. Penelitian terhadap perbandingan hukum
Merupakan penelitian yang menekankan dan mencari adanya perbedaan-perbedaan yang ada serta persamaan pada berbagai system hukum.

e. Penelitian terhadap sejarah hukum
Merupakan penelitian yang lebih dititik beratkan pada perkembangan-perkembangan hukum. Biasanya dalam perkembangan demikian, pada setiap analisa yang dilakukan akan mempergunakan perbandingan-perbandingan terhadap satu atau beberapa sistem hukum.

2. Penelitian Hukum Empiris
Penelitian hukum empiris atau yang dengan istilah lain biasa digunakan adalah penelitian hukum sosiologis dan dapat/biasa pula disebut dengan penelitian lapangan. Mengapa demikian? Oleh karena jika penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang didasarkan atas data sekunder, maka penelitian hukum sosiologis/empiris ini bertitik tolak dari data primer/dasar, yakni data yang diperoleh langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan, yang dilakukan baik melalui pengamatan (observasi), wawancara ataupun penyebaran kuesioner.
Penelitian hukum sebagai penelitian sosiologis (empiris) dapat direalisasikan kepada penelitian terhadap efektivitas hukum yang sedang berlaku ataupun penelitian terhadap identifikasi hukum .

F. Kesimpulan
Hukum adalah seperangkat kaidah atau aturan yang tersusun dalam satu sistem, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakatnya, yang bersumber baik dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain, yang diakui berlakunya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta benar-benar diberlakukan oleh warga masyarakat tersebut.
Metode Penelitian Hukum adalah cara untuk mencari jawaban yang benar mengenai sesuatu problem tentang hukum. Maka konsep atau pengertian tentang “apa yang diartikan dengan hukum” di sini akan amat menentukan metode pencaharian yang selayaknya dipakai.
Inti dari pada metodologi dalam setiap penelitian hukum adalah menguraikan tentang tata cara bagaimana suatu penelitian hukum itu harus dilaksanakan. Sebagai uraian tentang tata cara (teknik) penelitian yang harus dilakukan.
Secara khusus menurut jenis, sifat dan tujuannya suatu penelitian hukum yang oleh Soerjono Soekanto dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris.

Penutup
Sejarah hukum sangat erat kaitannya dengan perkembangan peradaban dan ditempatkan dalam konteks yang lebih luas dari sejarah sosial, sejarah hukum dipandang sebagai catatan mengenai evolusi hukum dan penjelasan teknis tentang bagaimana hukum-hukum ini berkembang dengan pandangan tentang pemahaman yang lebih baik mengenai asal-usul dari berbagai konsep hukum. Sebagian orang menganggapnya sebagai bagian dari sejarah intelektual. Metode penelitian hukum ini membahas tentang inti dari pada metodologi dalam setiap penelitian hukum adalah menguraikan tentang tata cara bagaimana suatu penelitian hukum itu harus dilaksanakan. Sebagai uraian tentang tata cara (teknik) penelitian yang harus dilakukan.




Referensi
www.sudikno.blogspot.com
www.cybertokoh.com
www.pojokhukum.blogspot.com.

Hukum Waris Islam

Diposting oleh Hamdani Elbantani | 17.19

HUKUM WARIS ISLAM SERTA PERDATA BARAT MENGENAI PEMBAGIAN HUTANG
BAB I
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG MASALAH
Hukum kewarisan adalah himpunan aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan. Pada prinsipnya kewarisan terjadi didahului dengan adanya kematian, lalu orang yang meninggal tersebut meninggalkan harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. Mengenai kaedah positif yang mengatur perihal kewarisan, negara Indonesia belum mempunyai hukum waris nasional. Tetapi setidaknya terdapat tiga kaedah hukum positif di Indonesia yang mengatur perihal kewarisan, yakni hukum adat, hukum perdata barat dan hukum Islam. Tentunya terdapat beberapa persamaan dan perbedaan di antara ketiga kaedah hukum yang mengatur perihal kewarisan tersebut.
Hukum Islam sendiri mengatur beberapa bidang hukum. Posisi hukum kewarisan dalam hukum Islam termasuk dalam lingkupan bidang hukum kekeluargaan. Pada umumnya perihal mengenai hukum kekeluargaan yang di dalamnya terdapat ketentuan mengenai kewarisan tersebut diatur dalam Al-Qur’an surat An-Nissa (Q.S.IV).
Harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris tidak serta merta berarti seluruhnya merupakan harta kekayaan yang nantinya akan dibagi kepada segenap ahli waris. Ada suatu saat dimana pewaris meninggalkan harta peninggalan berupa hutang. Perihal mengenai mewaris hutang ini sangat penting untuk diperhatikan mengingat bahwa di dalam setiap ketentuan positif yang mengatur perihal kewarisan dalam Al-Qur’an maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) selalu disebutkan bahwa bagian harta warisan akan siap untuk dibagi kepada segenap ahli waris jika telah dikurangi dengan hutang-hutang dan wasiat.
Dalam mewaris hutang-hutang, hukum kewarisan Islam mempunyai ketentuan tersendiri yang mengatur hal tersebut. Di lain sisi, kewarisan perdata barat dalam (KUHPerdata) pun juga mengatur hal yang sama pula. Oleh karena itu melalui makalah ini penulis akan membahas mengenai “Perbandingan ketentuan mengenai mewaris hutang menurut hukum kewarisan Islam dan menurut hukum kewarisan perdata barat.

B.RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah dijabarkan di atas, maka dapat ditarik beberapa pokok masalah yang akan dikaji dalam makalah ini, yakni:
1.Bagaimana hukum Islam dan hukum perdata barat mengatur perihal kewarisan pada umumnya?
2.Bagaimanakah perbandingan ketentuan mengenai pewaris hutang menurut hukum kewarisan Islam dan hukum perdata barat?
3.Apakah sama pembagian waris menurut hukum perdata barat dengan hukum islam?
4.Hukum apa sajakah yang mengatur tentang ketentuan positif yang mengatur tentang kewarisan?

C.TUJUAN PENELITIAN
Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana hukum perdata barat mengatur tentang pembagian waris dan juga untuk mengetahui sejauh mana pembagian waris menurut hukum itu sendiri. Namun secara spesifik tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1.Hukum Islam dan hukum perdata barat yang mengatur perihal tentang kewarisan tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan.
2.Perbandingan ketentuan mengenai pewaris hutang menurut hukum kewarisan Islam dan hukum perdata barat tentang harta peninggalan.
3.Pembagian waris menurut hukum perdata barat dengan hukum islam tentang harta peninggalan.
4.Hukum yang mengatur tentang ketentuan positif kewarisan tentang harta peninggalan.


D.KEGUNAAN PENELITIAN
1.Kepentingan Ilmiah
Di harapkan dari penelitian atau studi ini dapat memperkaya kajian tentang ilmu waris menurut hukum Islam pada khususnya dan kajian ilmu waris menurut hukum perdata barat pada umumnya.
2.Kepentingan terapan
Di harapkan dapat dijadikan sebagai metode atau cara atau bahan rujukan oleh para ahli waris dalam masalah pembagian harta warisan yang di tinggalkan oleh si mayit dan juga semoga bisa dijadikan sebagai bahan rujukan oleh para ulama yang mengatur tentang pembagian harta warisan dan juga semoga lebih dikembangkan lagi tentang ilmu kewarisan agar tidak ada konflik setelah di tinggalkan oleh si mayit di keluarga yang ditinggalkan.

E.METODE PENELITIAN
Dengan unsur-unsur pokok yang harus ditemukan sesuai dengan butir-butir rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, maka digunakan metode penelitian kualitatif. Dalam metode penelitian kualitatif ini, maka data yang didapat lebih lengkap, lebih mendalam, kredibel, dan bermakna sehingga tujuan penelitian dapat dicapai. Penggunaan metode kualitatif ini, bukan karena metode ini baru, dan lebih “trendy”, tetapi memang permasalahan lebih tepat dicarikan jawabannya dengan metode kualitatif. Dengan metode kualitatif, maka akan dapat diperoleh data yang lebih tuntas, pasti, sehingga memiliki kredibilitas yang tinggi.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.LANDASAN TEORI
Pada landasan teori berikut ini dikemukakan teori tentang hukum kewarisan di Indonesia yang mengatur perihal kewarisan menurut hukum Islam dan hukum perdata barat.
A.Dalam Hukum Islam
Bilamana orang membicarakan masalah warisan, maka orang akan sampai kepada dua masalah pokok, yakni adanya seorang yang meninggal dunia yang meninggalkan harta kekayaannya sebagai warisan dan meninggalkan orang-orang yang berhak untuk menerima harta peninggalan tersebut. Dalam buku II, bab I, pasal 171 butir a Kompilasi Hukum Islam disebutkan pengertian hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Hukum kewarisan Islam disebut juga hukum fara’id, jamak dari kata farida, erat sekali hubungannya dengan kata fard yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan.
B. Dalam Hukum Perdata Barat
Pengertian Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan lain perkataan, mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibat-akibatnya bagi ahli waris. Dasar Hukum menurut Perdata barat tertuang dalam Buku II KUHPerdata Pasal 830-1130 jo. Pasal 528 dan 584 KUHPerdata.
B.Penelitian sebelumnya
Apabila seseorang mati meninggalkan hutang maka wajib untuk pewaris, calon waris, apalah istilahnya bisa istri atau anaknya, untuk menggantikan hutang tersebut. Tetapi kalau dia tidak bisa membayar penuh sesuai surat perjanjian maka dapatlah dibuat surat perjanjian baru yang isinya disetujui kedua belah pihak.
Saya asumsikan yang meninggal beragama Islam yang tunduk terhadap hukum Islam. Dalam konsep kewarisan Islam, pelunasan utang dari orang yang meninggal (pewaris) merupakan hal paling pertama dan utama yang harus diselesaikan oleh ahli waris. Pelunasan utang tersebut dilakukan menggunakan harta (harta dalam hal ini merupakan aktiva) dari pewaris. Apabila harta pewaris mencukupi untuk pelunasan utang tersebut dan masih terdapat sisa harta, maka harta tersebut yang akan dibagikan sebagai warisan. Apabila harta pewaris tidak mencukupi pelunasan utang tersebut dan pewaris memiliki dua atau lebih kreditor, maka pelunasan utang akan dilakukan secara proporsional pada tiap-tiap kreditor. Dalam hal ini, ahli waris tidak memiliki kewajiban secara hukum untuk melunasi utang dari pewaris apabila harta warisan lebih kecil dari pasiva (utang). Akan tetapi, secara moral dan kepatutan, sudah seharusnya si ahli waris melunasi utang-utang pewaris apalagi kalau ternyata pewaris adalah orang tua dari para ahli waris.
Asumsi yang kedua, di pewaris bukan beragama Islam, maka akan digunakan hukum perdata barat. Dalam konsep hukum perdata barat, yang termasuk harta pewaris adalah segala aktiva dan pasiva, artinya harta tidak hanya berupa kekayaan seperti rumah, mobil, tabungan dan lainnya, tetapi juga termasuk utang. Berdasarkan konsep waris perdata barat terhadap harta warisan, ahli waris memiliki tiga sikap. Pertama, ia menerima harta warisan tersebut yang berarti dia menerima segala aktiva dan pasiva dari si pewaris. Dalam kasus di atas si ahli waris diwajibkan untuk menanggung utang pewaris. Kedua, ahli waris dapat menerima harta tersebut sebagian. Sebagian disini tidak berarti ia bisa memilih harta yang diterima, tetapi sebagian disini berarti ia bertindak menerima harta tersebut untuk menjadi kurator dari harta tersebut. Ketiga, ahli waris menolak harta warisan, yang berarti si ahli waris menolak seluruh aktiva maupun pasiva. Kalau dihubungakan dengan kasus, berarti si ahli waris tidak diwajibkan secara hukum untuk membayar utang ahli waris.
Asumsi yang ketiga, ketentuan hukum waris menggunakan hukum adat. Penyelesaian yang ketiga ini cukup rumit. Kita harus tahu terlebih dahulu asal dari si pewaris untuk mengetahui sistem kekerabatannya, apakah patrilineal ataukah matrilineal atau malah bilateral.


BAB III
PAPARAN DATA
A.HASIL PENELITIAN
1.Ditinjau Dari Hukum Kewarisan Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam buku II, bab I tentang ketentuan umum, dapat disimpulkan bahwa hukum kewarisan Islam memisahkan konsep antara harta peninggalan dan harta warisan. Yang dimaksud harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan yang dimaksud mengenai harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Dalam setiap ketentuan positif dalam hukum kewarisan Islam selalu diberi penjelasan bahwa ahli waris baru dapat menerima harta warisan setelah dikurang dengan pembayaran hutang dan wasiat. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa hukum kewarisan Islam menuntut adanya pelunasan segala hutang dan wasiat si pewaris sebelum harta warisan dibagikan. Para ahli waris tidak diwajibkan untuk menutupi kekurangan yang timbul karena tidak mencukupi harta peninggalan bagi pelunasan hutang pewaris dengan kekayaan sejumlah harta peninggalan.

2.Ditinjau Dari Hukum Kewarisan Perdata Barat
Menurut hukum kewarisan Islam dan hukum waris adat, apa yang pada hakekatnya beralih dari tangan yang wafat kepada para ahli waris ialah barang-barang tinggalan dalam keadaan bersih, artinya setelah dikurangi dengan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si pewaris.
Mr.Ter Haar mengatakan bahwa hanya harta peninggalan yang tinggal tak terbagi-bagilah yang harus dipergunakan untuk membayar hutang-hutang si pewaris. Titik pangkal ini mengakibatkan perumusan kaedah hukum adat yakni hanya sisa harta peninggalan dapat diwaris. Sebaliknya KUHPerdata memandang selaku hakekat, bahwa yang diwarisi oleh ahli waris itu tidaklah hanya hal-hal yang bermanfaat saja bagi mereka, melainkan juga hutang dari si pewaris.
Hakekat dalam KUHPerdata bahwa hutang-hutang si pewaris beralih pula kepada ahli waris juga menentukan bahwa para ahli waris dapat menghindarkan peralihan itu dengan jalan menerima atau menolak warisan atau menerima dengan syarat, yaitu menerima tetapi dengan ketentuan ia tidak akan diwajibkan membayar hutang si pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu.


BAB IV
ANALISA DATA

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, mayoritas orang yang membicarakan masalah harta warisan, maka orang akan sampai kepada dua masalah pokok, yakni adanya seorang yang meninggal dunia yang meninggalkan harta kekayaannya sebagai warisan dan meninggalkan orang-orang yang berhak untuk menerima harta peninggalan tersebut. Dalam buku II, bab I, pasal 171 butir a Kompilasi Hukum Islam disebutkan pengertian hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Hukum kewarisan Islam disebut juga hukum fara’id, jamak dari kata farida, erat sekali hubungannya dengan kata fard yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan.
1. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam Menurut Prof.Dr.Amir Syarifudin, ada lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas-asas tersebut adalah :
a) Asas Ijbari (memaksa=compulsory) Peralihan harta peninggalan berlaku dengan sendirinya tanpa digantungkan pada kehendak masing-masing pihak.
b) Asas Bilateral Bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu pihak garis keturunan laki-laki dan pihak garis keturunan perempuan. c) Asas Individual Pemilikan harta peninggalan yang diberikan dapat dimiliki secara individu.
d) Asas Keadilan Berimbang Harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dengan keajiban yang harus ditunaikannya.
e) Asas Kematian Peralihan harta seorang kepada orang lain hanya berlaku setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia.
2. Faktor-Faktor Lahirnya Hukum Kewarisan Islam Menurut Prof.Dr.Tahir Azhari, SH, faktor-faktor yang melahirkan hak kewarisan Islam adalah sebagai berikut :
a) Faktor seiman
b) Adanya hubungan darah antara pewaris dan ahli waris
c) Adanya hubungan semenda / perkawinan
3. Dasar Hukum Kewarisan Islam
a) Al-Qur’an Beberapa ayat AL-Qur’an yang langsung mengatur pembagian harta warisan adalah sebagai berikut :
- O.S.IV:7. Mengatur penegasan bahwa laki-laki dan perempuan dapat mewaris.
- Q.S.IV:11. Mengatur perolehan anak, ibu dan bapak.
- Q.S.IV:12. Mengatur perolehan duda, janda, saudara-saudara dalam hal kalaalah.
- Q.S.IV:33. Mengatur mengenai mawali seorang yang dapat harta peninggalan dari ibu-bapaknya, aqrabunnya dan tolam seperjanjiannya.
- Q.S.IV:176. Menerangkan arti kalaalah.
b) Sunnah Rasul, yakni hadits Jaabir bin Abdullah, Zaid bin Tsabit, Abu Bakar, Ali bin Thalib, Saad bin Abi Waqqas, Ibnu Abbas, dan lain-lain.
c) Ijtihad, misalnya mengenai bagian ibu apabila hanya mewaris dengan bapak dan suami atau isteri.
Menurut hasil penelitian bahwa Pengertian Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan perkataan lain yaitu mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia serta akibat-akibatnya bagi ahli waris. Dasar Hukum Buku II KUHPerdata Pasal 830-1130 jo. Pasal 528 dan 584 KUHPerdata.
Menurut hasil penelitian bahwa, Prinsip Umum dalam Kewarisan adalah :
a. Pewarisan terjadi karena meninggalnya pewaris dengan sejumlah harta tertentu.
b.Hak-hak dan kewajiban dibidang harta kekayaan beralih demi hukum. Pasal 833 KUHPerdata, menimbulkan hak menuntut.
c.Yang berhak mewaris menurut UU mereka yang mempunyai hubungan darah (Pasal 832 KUHPerdata).
d.Harta tidak boleh dibiarkan tidak terbagi begitu saja.
e.Setiap orang cakap mewaris kecuali pasal 838 KUHPerdata (onwaardig).
Menurut hasil penelitian yang di tinjau dari hukum kewarisan Islam bahwa, dalam Kompilasi Hukum Islam buku II, bab I tentang ketentuan umum, dapat disimpulkan bahwa hukum kewarisan Islam memisahkan konsep antara harta peninggalan dan harta warisan. Yang dimaksud harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan yang dimaksud mengenai harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Begitu pula seperti yang telah dijelaskan pada uraian-uraian sebelumnya yakni bahwa dalam setiap ketentuan positif dalam hukum kewarisan Islam selalu diberi penjelasan bahwa ahli waris baru dapat menerima harta warisan setelah dikurang dengan pembayaran hutang dan wasiat. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa hukum kewarisan Islam menuntut adanya pelunasan segala hutang dan wasiat si pewaris sebelum harta warisan dibagikan. Para ahli waris tidak diwajibkan untuk menutupi kekurangan yang timbul karena tidak mencukupi harta peninggalan bagi pelunasan hutang pewaris dengan kekayaan sejumlah harta peninggalan. Dikuatkan pula oleh QS.II:233, bahwa tidak berarti ibu atau ayah karena anaknya, demikian pula ahli waris karena pewarisannya. Dengan demikian maka prosedur pembayaran hutang pewaris yang melampaui jumlah harta peninggalan ialah menurut pengurangan yang seimbang.
Contoh kasus:
Pewaris X mempunyai hutang kepada A sebesar Rp.50.000,- ; kepada B sebesar .30.000,- dan C sebesar Rp.20.000,-. Jumlah harta peningalan pewaris sebesar 200.000. Ongkos-ongkos selama sakit dan ongkos kematian sebesar Rp. 160.000,-. Berdasar rumus di atas maka penyelesaian hutang-hutang tersebut diatur sebagai berikut:
A = 50.000 / 100.000 x (200.000-160.000) = Rp. 20.000,-
B = 30.000 / 100.000 x (200.000-160.000) = Rp. 12.000,-
C = 20.000 / 100.000 x (200.000-160.000) = Rp. 8.000,-
Menurut hasil penelitian yang ditinjau dari hukum kewarisan Islam dan hukum waris adat bahwa, pada hakekatnya beralih dari tangan yang wafat kepada para ahli waris ialah barang-barang tinggalan dalam keadaan bersih, artinya setelah dikurangi dengan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si pewaris. Mr.Ter Haar mengatakan bahwa hanya harta peninggalan yang tinggal tak terbagi-bagilah yang harus dipergunakan untuk membayar hutang-hutang si pewaris. Titik pangkal ini mengakibatkan perumusan kaedah hukum adat yakni hanya sisa harta peninggalan dapat diwarisi. Sebaliknya KUHPerdata memandang selaku hakekat, bahwa yang diwarisi oleh ahli waris itu tidaklah hanya hal-hal yang bermanfaat saja bagi mereka, melainkan juga hutang dari si pewaris.
Hakekat dalam KUHPerdata bahwa hutang-hutang si pewaris beralih pula kepada ahli waris juga menentukan bahwa para ahli waris dapat menghindarkan peralihan itu dengan jalan menerima atau menolak warisan atau menerima dengan syarat, yaitu menerima tetapi dengan ketentuan ia tidak akan diwajibkan membayar hutang si pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu.
Berdasasrkan KUHPerdata mengenal 3 macam sikap dari ahli waris terhadap harta warisan, yakni:
1. Ia dapat menerima harta warisan seluruhnya menurut hakekat tersebut dari KUHPerdata, termasuk seluruh hutang si pewaris.
2. Ia dapat menolak harta warisan dengan akibat bahwa ia sama sekali tidak tahu menahu tentang pengurusan harta warisan itu.
3. Ia dapat menerima harta warisan dengan syarat bahwa harus diperinci barang-barangnya dengan pengertian bahwa hutang-hutang hanya dapat ditagih sekedar harta warisan mencukupi untuk itu.
Oleh karena pemilihan satu dari tiga sikap tersebut di atas dapat berpengaruh besar terhadap ahli waris, maka oleh KUHPerdata kepada mereka secara tegas diberi kesempatan untuk berpikir dahulu sebelum memilih salah satu sikap itu. Hak-hak berpikir ini diatur dalam pasal 1023 sampai pasal 1029 KUHPerdata. Akibat dari penerimaan warisan secara penuh atau tanpa syarat (point 1) adalah bahwa harta warisan dan harta kekayaan pribadi dari ahli waris dicampur menjadi satu, berari bahwa semua hutang-hutang pewaris diambil alih oleh ahli waris, dan ia tidak dapat menolak warisan itu .


BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Dalam hukum Islam, kewarisan merupakan suatu kewajiban yang tidak digantungkan pada kehendak masing-masing pihak. Sedangkan dalam hukum perdata barat, jika terbuka suatu warisan, ahli waris dapat memilih apakah ia akan menerima atau menolak warisan itu, atau menerima dengan ketentuan ia tidak akan diwajibkan membayar hutang-hutang si pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu.
2. Dalam hukum Islam yang diwariskan kepada ahli waris itu adalah barang-barang peninggalan si pewaris dalam keadaan bersih, jadi setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang si pewaris. Seperti apa yang telah diuraikan bahwa pembayaan hutang itu tidak boleh mendatangkan kesempitan pada ahli waris tersebut, dengan demikian tanggung jawab para ahli waris menurut hukum Islam adalah terbatas sebanyak harta peninggalan yang ia dapatkan. Sedangkan dalam KUHPerdata tanggung jawab para ahli waris tersebut, apakah ia menerima atau menolak warisan itu.
3. Dalam hukum kewarisan Islam para ahli waris tidak diwajibkan untuk menutupi kekurangan – kekurangan yang timbul karena harta peninggalan tidak cukup untuk menutupi hutang si pewaris. Sedangkan menurut KUHPerdata harta kekayaan pribadi dapat dipakai untuk mencukupi pelunasan hutang - hutang si pewaris bila ia menerima warisan itu secara penuh atau tanpa syarat.

B. Saran
Menggantungkan kehendak untuk pewaris seperti yang dianut oleh sistem kewarisan perdata barat dirasakan tidak sesuai dengan prinsip kekeluargaan yang ada karena terdapat kemungkinan bahwa ahli waris menolak warisan. Hal ini memungkinkan terjadinya penyalahgunaan seperti halnya yang terjadi pada kasus Soeharto dimana salah satu ahli warisnya yakni Hutomo Mandala Putra menolak menjadi ahli waris. Dari kasus tersebut banyak pihak yang memperkirakan bahwa itu merupakan trik Hutomo Mandala Putra untuk mengindari penyelidikan hukum atas harta yang bersangkutan terkait kasus korupsi yang melilitnya. Maka diperlukan hukum kewarisan nasional yang didalamnya tersirat kaedah hukum kewarisan Islam yang mengatur bahwa ahli waris wajib mewaris termasuk mewaris hutang pewaris tetapi terbatas atas harta warisan yang diperoleh ahli waris tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

-Soelistijono SH. CN, Yati dan Neng Djubaedah SH. MH. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
-Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara, 1981.
-Ali, Mohammad Daud, H. Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
-Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2003.
-Zushaniaty I, Mei, “kedudukan wasiat dan hutang si mati ditinjau dari sudut hukum kewarisan islam dan kitab undang-undang hukum perdata.” Skripsi Sarjana Universitas Inonesia, Jakarta, 1986.
-Disusun oleh Tim Redaksi Fokusmedia. Peraturan Perundang-Undangan: Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam.. Cet.II. Bandung: Fokusmedia, 2007.
-R.Subekti dan R.Tjitro sudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Cet.VIII. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.”